Posted by : Unknown
Monday, January 23, 2017
MAKALAH INDIVIDU
“PROSES PEMBENTUKAN KAIDAH FIKHIYAH”
Dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat mata kuliah kaidah fikih
Dosen Pengampu:
Drs.Hi.Musnad Rozin,MH
Disusun Oleh :
NAMA
: Roy Aditia Wardana
NPM : 1503010010
BAHASA DAN SASTRA ARAB
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
TA 1438 H/2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jika di tinjau
dari segi hukum maka akan Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih,
yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya
ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara
bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih,
menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di
akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih
mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang
kaidah tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya
masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab
Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan
Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di atas. Setelah
seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang
menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37
kaidah. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih
muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Seperti kita ketahui dari perkembangan
ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih
pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir, hadits,
dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita
untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di
masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan
investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan
mudah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pembentukan Kaidah Fikhiyah.....?
2.
Bagaimana Proses Pembentukan Kaidah Fikhiayah....?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBENTUKAN KAIDAH
FIKHIYAH
Sulit
diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab
kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus,
tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian,
kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi,
ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4
Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah
tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id
al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat
kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima
kaidah besar di atas. Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam
Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu
Thahir sehingga menjadi 37 kaidah. Dari paparan di
atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir,
hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan
demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
B.
PROSES PEMBENTUKAN KAIDAH
FIKHIYAH
Kaidah Fiqih memang bukan
dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada
masalah-masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka
para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat
memahami hukum Islam ini dengan mudah. Oleh karena itu, bahwa proses
pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1.
Sumber
hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2.
Kemudian
muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath
al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan Fiqih;
3.
Fiqih
ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh
ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan
menggunakan pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok
merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan
menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4.
Selanjutnya
kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak
hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat
Al-Quran dan hadits nabi;
5.
Apabila
sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru
kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6.
Apabila
sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan
kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7.
Oleh
karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di
dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan
kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99
kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185
pasal;
8.
Seperti
telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ
الْفتْوى واخْتِلافُها بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ
والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda
sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim
dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H)
dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid,
sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal
kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ
يكُوْن بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum itu wajib
ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang
terjadi"
Dalam kitab
al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan
kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج
شيْئًا مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi kepala
Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali
dengan cara yang dibenarkan"
Contoh
lain: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini
berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن
الرّاعِيةِ كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan seorang
pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam
al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang
fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya saja
sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah,
kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih
bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah
Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses
pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah
dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ
والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan wajib
disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),
Atau
juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan memudaratkan dan
jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits
ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan harus
dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau
memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya,
baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits,
selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai
kaidah yang mapan.
Kaidah yang
sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru. Misalnya kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua perkara itu tergantung
kepada maksudnya”
Kaidah ini
berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan
tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau
sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha. Dalam muamalah, apakah
menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan. Dalam
jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan
niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya
dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap perbuatan
tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga
kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ
والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat dari umatku
(tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR.
Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak
hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran
yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut : "Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS.
Al-Ahzab : 5)
Demikian
pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan
karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan
kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau
bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia. Dari sini bisa diambil
kesimpulan bahwa; Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan
ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi
kaidah di kalangan Ulama Fiqih. Kedua, kaidah
yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka
substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka,
setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali
materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar
(pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah. Misalnya, dalam kitab
al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap perkara tergantung
kepada niatnya"
Al-Suyuthi,
membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2.
Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan
kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan
jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3.
Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih
yang tidak diperlukan niat;
4.
Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang
serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam
hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith,
yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ
تُخصِّصُ اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat di dalam sumpah
mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa
mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah
dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus
dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di
niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8.
Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam
kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i. Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan
Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح
لهُ قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang
mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang
haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh
kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang
mendapatkan warisan tersebut. Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis
masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut. Atau ada
orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu
binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ
عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya,
diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa
proses pembentukan kaidah fikih melalui beberapa tahapan yaitu:
1.
Sumber
hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2.
Kemudian
muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath
al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan Fiqih;
3.
Fiqih ini banyak
materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang
mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola
piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan
kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi
kaidah-kaidah Fiqih;
4.
Selanjutnya kaidah-kaidah
tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits,
terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan
hadits nabi;
5.
Apabila sudah dianggap
sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih
tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6.
Apabila sudah menjadi
kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk
menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan
budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa Dziraq, Qawa’id Fiqhiyyah (Jiddah: Da’r al-Basyir,
2000)
A. Djazuli, Kidah-Kaidah
Fiqih : Kidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2010)
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id
Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004),