Popular Post

Popular Posts

Recent post

Archive for March 2017




A.    Letak dan Kondisi Geografis





Untitled.png,images (32).jpg


Untitled.pngF.png
 


























Nama asli Arab Saudi adalah AL Mamlaka AL Arabiah AL Saudiah. Kerajaan ini didirikan oleh Raja Abdul Azis pada tanggal 23 September 1932, ibukota Arab Saudi adalah Riyad.

1.       Luas wilayah : 2.331.000 KM2.
2.       Letak astronomis : 15º LU-32º LU dan 34º BT-57º BT.
3.       Letak geografis : Asia barat, berupa semenanjung Arabiah.
4.       Batas-batas : Utara adalah Yordania, Irak, dan Kuwait. Timur adalah Teluk Persia, Uni Emirat Arab, Bahrein, dan Khattar. Selatan adalah Oman dan Yaman. Barat adalah Laut Merah.
5.       Bentang alam : Sebagian besar berupa Gurun pasir dan Plato. Di gurun juga ditemukan Oase, yaitu sumber air di gurun. Jenis tumbuhan alami yang tumbuh adalah Semak-semak, padang rumput, dan tumbuhan Gurun.
6.       Iklim : Beriklim Tropis di selatan dan Sub Tropis di utara, serta beriklim continental darat.

“Jazirah Arab”, demikian Bangsa Arab menamakan negeri mereka atau terkadang mereka cukup menyebutnya dengan ‘al-Jazirah’, meskipun sebenarnya ia bukanlah sebuah pulau melainkan hanya sebuah semenanjung, karena sebelah utara negeri ini tidak dibatasi oleh perairan (laut). Mereka menamakannya demikian hanya sekedar tajawuz (melebih-lebihkan).
Sebelah Utara negeri ini berbatasan dengan negeri Syam, al-Jazirah, dan Irak, sedangkan bagian Timur berbatasan dengan Teluk Persia (the Persian Gulf) dan Laut Oman, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, dan bagian Barat dibatasi oleh Teluk Arab atau yang dikenal dengan Laut Merah. Luasnya sekitar seperempat luas Eropa atau dua setengah kali lipat luas Mesir.
Jazirah Arab itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian, yang  berbeda satu dengan lainnya, baik kondisi geografi, iklim, maupun tradisi penduduknya. Sebelah Barat terdiri dari dua wilayah besar, yakni al-Hijaz di sebelah Utara dan Yaman di sebelah selatan. Kota Hijaz dinamakan demikian karena di sana terdapat gunung Sarah yang terbentang mulai dari Yaman hingga ujung kota Syam, sehingga orang Arab menyebutnya dengan hijaz yang berarti pembatas, karena gunung tersebut membatasi negeri Mekah – terbentang hingga tepi pantai- menjulang tinggi, mengelilingi Hijaz dan sekitarnya sampai kota-kota yang berada di dataran rendah, dan itulah yang dinamakan dengan negeri Mekah (Tihamah).
Hijaz merupakan kota yang gersang, tidak subur dan jarang hujan, namun terkadang muncul air bah memenuhi lembah-lembah, lalu mengalir  dan selanjutnya tumpah ke laut. Di Hijaz juga terdapat beberapa padang pasir- terutama sekitar Mekah- di mana cahaya matahari langsung menyengatnya sehingga memberi effek panas yang sangat luar biasa. Selain itu terdapat pula lembah-lembah kering yang terkadang ditumbuhi rerumputan tempat digembalakan binatang ternak. Ada juga tempat yang sangat subur dan biasanya dijadikan tempat tinggal oleh kelompok tertentu. Di tempat seperti ini tumbuh tumbuh-tumbuhan, seperti pohon tin, anggur, delima dan zaitun.
Salah satu kota yang sangat terkenal di Hijaz adalah Mekah yang terletak di sebuah lembah tanpa tumbuhan. Panjang antara utara dan selatan sekitar dua mil, sedangkan lebarnya sekitar satu mil, sebelah timur dimulai dari kaki gunung Abi Qubas hingga gunung Qu’aiqi’an di sebelah barat.
Di kota Mekah terdapat Ka’bah (Baitul Haram) tempat ibadah haji masyarakat Arab Jahili, yang kemudian diwajibkan dalam Islam, kiblat shalat kaum muslimin. Di Mekah juga terdapat sebuah sumur yang memancarkan air zamzam yang sangat terkenal. Di situ pula lahir nabi Muhammad saw. Tempat yang sangat terkenal yang ada di kota Mekah adalah Shafa dan Marwah, keduanya merupakan tempat tinggi yang terletak di gunung Qubais. Kota lainnya adalah Wadi Mina, Jabal Arafat, dan Muzdalifah. Semuanya merupakan tempat yang biasa disebut-sebut dalam ibadah haji.
Selain Mekah kota lain yang terletak di Hijaz adalah Madinah yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Yatsrib. Kota ini terletak di tengah-tengah lembah yang sangat luas. Sebelah Utaranya gunung Uhud. Kota ini banyak ditumbuhi pohon korma dan memiliki banyak sumur yang dijadikan sebagai sumber air mereka. Madinah adalah tempah yang dituju Nabi saw saat hijrah dari Mekah dan juga tempat Nabi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelah Barat kota Madinah adalah kota Khaibar yang didiami oleh kaum Yahudi, sebagaimana di yang terdapat di sebagian kota Madinah lainnya.
Dengan demikian, Hijaz ditempati oleh beberapa kabilah Arab, di Madinah ditempati oleh Kabilah Arab dari suku Aus dan Khazraj, sedangkan di Mekah oleh suku Quraisy, di Thaif oleh suku Tsaqif, sedangkan suku Hudzail menempati bukit-bukit di sebelah selatan kota Mekah. Suku Hudzail ini terkenal dengan syi’ir-syi’irnya yang halus.
Sebelah selatan Hijaz adalah Yaman sebuah negeri lama yang terkenal dengan kekayaan dan peradabannya. Kota ini seperti juga Hijaz terdiri dari dataran-dataran rendah yang terletak di tepi pantai, yang terkadang disebut dengan Tihamah (negeri Mekah), sedangkan dataran tingginya disebut dengan Najed al-Yaman. Di antara kota-kotanya adalah Nejran sebelah timur Yaman yang dikenal pada masa Jahiliyah sebagai tempat pemeluk agama kristiani. Di sana terdapat uskup-uskup dan juga Ka’bah yang mereka agungkan menyerupai Ka’bah yang ada di Mekah. Tersebarnya agama Nasrani di Nejran menjadi salah satu faktor terjadinya hubungan bilateral antara Habasyah dan Nejran itu, karena keduanya merasa disatukan oleh ideologi yang sama.
Di Yaman terdapat sebuah kota yang disebut Ma’rab, terletak di sebelah Timur Laut kota Shan’a bernama Saba’. Penduduknya dinamakan juga dengan Saba.
Kota lainnya yang terkenal adalah Shan’a itu sendiri. Kota ini terletak di tengah-tengah dekat dengan istana yang megah yang disebut Ghumdan. Sejarah menyebutkan bahwa Saef ibn Dzi Yazn pada masa Jahiliyah meminta istana tersebut dikembalikan dari Habasyah, pada saat mereka menguasai negeri Yaman.
Di sebelah selatan kota Shan’a terdapat reruntuhan kota yang diduga sebagai peninggalan kaum Himyar. Reruntuhan ini dinamakan dengan Zhaffar. Dari istilah tersebut muncul sebuah peribahasa (amtsal) terkenal ‘من دخل ظفار حمرّ  yang artinya ‘siapa yang masuk ke Zhaffar maka ia telah menjadi Himyar’, atau berarti ia mampu berbahasa Himyar.
Kabilah terbesar bangsa Arab yang mendiami negeri Yaman adalah Hamdan yang terkenal pada masa jahiliyah karena menyembah dua berhala yang bernama Yagûts dan Ya’ûq sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an al-Karim. Selain kabilah Hamdan, kabilah lainnya yang mendiami Yaman adalah kabilah Madzhij dan Murâd.
Sebelah selatan Jazirah Arab terdapat negeri Hadramaut. Sebuah daerah pegunungan yang di sela-selanya terdapat banyak lembah. Penduduknya dinamakan dengan al-Hadhâramah yang terkenal dengan keuletan dan kegigihannya dalam berdagang. Pada saat penaklukan Islam (al-fath al-islami) di antara mereka banyak yang datang ke Mesir. Penduduk yang paling terkenal pada masa Jahiliyah yang menempati wilayah ini adalah keturunan Kindah yang dikenal dengan sebutan ‘Tujîb’.
Perbatasan sebelah Utara Hadramaut adalah negeri al-Ahqâf yang didiami oleh kaum ‘Âd. Kisah tentang Negeri ini diceritakan dalam al-Qur’an berulang kali, di antaranya “ dan ceritakanlah tentang (Hud) saudara ‘Âd pada saat ia memberi peringatan pada kaumnya di al-Ahqâf”.[1]Dan salah satu surat dalam al-Qur’an diberi nama al-Ahqaf.
Di sudut bagian tenggara al-Jazirah adalah Oman, sebuah wilayah pegunungan di pinggir pantai. Penduduknya terkenal sebagai nelayan. Diceritakan bahwa setelah hancurnya Saddama’rab, sebagian kabilah bani Azad masuk ke Oman dan mendiaminya. Selain kabilah Azad wilayah ini juga ditempati oleh sebagian bangsa Thoyy, dan yang paling terkenal adalah kabilah Nabhan.
Bagian yang terbentang di timur al-Jazirah yang di mulai dari Oman hingga perbatasan Irak dinamakan ‘Bahrain’. Di antara kotanya yang terkenal adalah Hajar. Kota ini banyak menghasilkan korma, sehingga muncul ungkapan ‘ laksana orang yang membawa korma ke kota Hajar’.
Selain Hajar, kota lainnya adalah Qatar. Penduduknya terkenal sebagai penyelam dan produsen mutiara. Bahrain itu sendiri didiami oleh kabilah-kabilah dari Bani Abd al-Qais dan Tamim.
Adapun Al-Jazirah bagian tengah terdiri dari gurun-gurun pasir (sahara) yang jarang dicurahi hujan, sehingga sedikit sekali tumbuhan yang tumbuh. Di sela-sela padang pasir tersebut banyak dijumpai waha yakni tanah subur di tengah padang pasir. Di tanah seperti ini dalam bulan-bulan tertentu tumbuh rerumputan yang biasanya dijadikan sebagai tempat menggembalakan ternak. Ada beberapa jenis padang pasir, setiap jenis memiliki nama tersendiri. Padang pasir yang terletak antara Timur Yaman dan Barat Laut Hadramaut dinamakan ‘Shaihada’, sedangkan yang terletak di utara Hadramaut dinamakan ‘al-Ahqaf’, dan yang ada di utara Mahra dinamakan ‘al-Dahnâ’.
Sebelah utara gurun pasir terbentang dataran tinggi yang disebut ‘Najda’, sebuah tempat terbaik yang dimiliki bangsa Arab karena udaranya yang sejuk dan pemandangannya yang indah.
Bagian lain yang terletak di sebelah tenggara Najed adalah al-Yamamah, sebuah tempat yang paling subur di wilayah Arab. Diriwayatkan bahwa tempat ini adalah tempat tinggal Thasm dan Jadwis. Jika Yamamah dan Bahrain keduanya digabungkan, namanya menjadi ‘al-Arûdh’.
Gurun pasir bagian utara yang letaknya berdekatan dengan Syam dinamakan dengan Gurun Syam, sedangkan yang berdekatan dengan Irak dinamakan Gurun Irak, dan yang berdekatan dengan al-Jazirah (Utara Irak) dinamakan dengan Gurun Jazirah. 
Cuaca. Sebagian besar Jazirah Arab memiliki cuaca yang sangat panas. Namun demikian, di dataran-dataran tinggi meskipun musim panas pada malam harinya udara terasa sejuk dan pada musim dingin udara sangat dingin sehingga terkadang disertai turunnya salju di sebagian puncak gunung seperti di Thaif. Puncak-puncak gunung diselimuti salju dan air pun membeku. Selanjutnya panas melelehkan kembali gumpalan salju tersebut, dan terciptalah dari balik gunung-gunung tersebut aliran-aliran sungai kecil yang mengairi kebun dan sawah mereka. Sedangkan  angin, para penyair membaginya ke dalam dua tipe, yakni angin Timur (shabâ) dan angin panas (samûm). Adapun yang dimaksud angin shaba yakni angin sejuk yang berhembus dari arah Timur. Para penyair sangat suka menjadikannya sebagai bahan rayuan karena kesejukkan dan kelembutan semilirnya. Dari kata tersebut terbentuk sebuah derivasi, untuk itu mereka mengatakan: صبت الريح-تصبو صبوّاAngin Timur bertiup meniupkan kasih sayang”. Bila shaba adalah angin sejuk, sebaliknya samum, ia adalah angin panas. Dari kata tersebut muncul derivasi dalam bentuk ungkapan:  يوم سامّ و مسمومHari yang berangin panas”.
Wiliyah Arab sama sekali tidak memiliki sungai besar yang mengalir, kecuali anak-anak sungai yang airnya terkadang mengalir terkadang tidak. Untuk itu mereka sangat tergantung pada curah hujan, yang mereka sebut dengan ‘al-ghaits[2]. Musim semi adalah saat-saat terbaik mereka, pada saat di mana tumbuh-tumbuhan mulai bersemi setelah musim hujan berlalu. Mereka lalu keluar menuju ke sana dengan unta dan ternak mereka lainnya. Sebagian gunung dan lembah, tanahnya tampak terlihat indah karena setelah mendapat curahan hujan ia ditumbuhi tetumbuhan dan pepohonan. Di antara nama pohon yang terkenal adalah ‘al-thalh, al-atsl, al-sidr (bidara), al-hina (pacar), al-ruman (delima), al-tufah (apel), al-Lemun (lemon), dan yang paling banyak adalah pohon korma yang biasa mereka konsumsi.
Adapun daerah yang paling subur tanahnya adalah Yaman, hal itu sebabkan oleh karena Yaman memiliki curah hujan yang banyak dan kondisi tanah yang subur, oleh karena itu pula orang Yunani dan Romawi menyebutnya dengan ‘negeri Arab yang menyenangkan’ untuk membedakannya dengan negeri-negeri Arab Timur lainnya yang tandus.
Dari gambaran tersebut kita bisa melihat perbedaan-perbedaan nyata antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, di mana sebagian wilayah berada di lokasi dataran dan yang lainnya berada di daerah pegunungan, bagian lain memiliki tanah yang subur dan yang lainnya tandus, sebagian beriklim panas dan sebagian dingin, beberapa wilayah terletak di tepi pantai dan sebagian lainnya jauh dari lautan, sebagian negeri berbatasan dengan penduduk berperadaban dan berinteraksi dengan mereka, sedangkan lainnya tertahan di padang pasir, ataupun bila ada interaksi dengan wilayah yang berperadaban itu pun ada faktornya.
Perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap kondisi intelektual, cara pandang, tradisi, bahasa, dialek, agama serta sistem politik penduduknya.
Bangsa Arab. Jazirah tersebut di atas didiami oleh bangsa Arab. Bangsa Arab merupakan keturunan Sam (Semit). Dan Sam adalah nama yang diberikan oleh para sejarawan bagi keturunan Sam bin Nuh. Ras ini mencakup etnik Babilonia, Suriah, Ibrani, Poenik, Armenia, Habsyi, Saba dan Arab, Sebenarnya para ahli sejarah masih berbeda pendapat tentang keturunan Sam ini, sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang di mana letak geografi sesungguhnya dari masing-masing ras tersebut sebelum mereka terpisah-pisah. Sebagian berpendapat bahwa mereka pertama kali tinggal di wilayah Asia. Asia sendiri masih diperselisihkan apakah yang dimaksud adalah jazirah Arab, Armenia, ataukah di bagian paling bawah Euphrat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mereka berdomisili di Afrika lalu berimigran ke Asia.
Selanjutnya bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu Arab bagian Utara atau disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan atau disebut dengan bangsa Yaman.
Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan Arab musta’ribah[3] (Arabist), karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang berasal dari Kabilah Yamaniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi dengan bahasa mereka.
Adapun Arab bagian Selatan dinamakan dengan kaum Qahthan. Hal ini berdasarkan keterangan para geneologis yang menyebutkan bahwa Arab Yaman seluruhnya berasal dari keturunan Qahthan, dan mereka juga menyebutnya dengan ‘Arab Aribah’(Arab orisinil), karena bahasa Arab pada dasarnya adalah bahasa asli dan alat komunikasi mereka.
Antara kelompok Adnan dan Qahthan, telah lama terjadi permusuhan. Selain karena perbedaan bahasa dan peradaban, penyebab utamanya adalah perbedaan ideologi antara keduanya. Sebagaimana diriwayatkan dalam buku-buku sastra dan sejarah, bahwa antara keduanya terjadi banyak persaingan, seperti apa yang terjadi pada masa sebelum dan awal Islam antara penduduk Madinah (suku Aus dan Khazraj) dari pihak Yaman dan penduduk Mekah dari golongan Adnan. Dengan berakhirnya permusuhan antara keduanya, interaksi kedua kelompok tersebut terus berlangsung. Kaum Yaman kemudian melakukan rihlah ke Hijaz, dan sebaliknya penduduk Hijaz melakukan rihlah ke Yaman. Kabilah-kabilah Qahthan akhirnya banyak menempati wilayah Hijaz  seperti suku Aus dan Khazraj yang mendiami Madinah, demikian pula halnya dengan kaum Adnan yang banyak menetap di negeri Yaman.
Dari Adnan dan Qahthan selanjutnya terbagi menjadi beberapa kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul geberasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilah pada ayah. Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.
Sistem kabilah. Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) atau ketua sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura-pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya.  
Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, sehingga mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan dari kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf  (yang bersekutu) atau ‘maulâ’ (sekutu).
Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah-kabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syi’ir-syi’ir jahili. Oleh karena itu pula, untuk memahami syi’ir dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahili seseorang harus memahami benar kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka.
Kabilah paling terkenal. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu keturunan Adnan dan Qahthan.
Adnan terbagi lagi menjadi dua cabang besar, yaitu: Rabi’ah dan Mudhar, lalu keduanya terbagi ke menjadi beberapa kabilah.

Bahasa-bahasa semit dan kedudukan bahasa Arab.
Bahasa Arab dan bahasa-bahasa Semit lainnya. Bahasa yang digunakan Bangsa Arab adalah bahasa Arab. Bahasa Arab adalah salah satu dari bahasa Semit. Dinamakan bahasa Semit untuk membedakannya dari bahasa-bahasa Ham dan Ariyah.
Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alif yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salam dalam bahasa Arab menjadi syalum dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur.  Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dhad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjdi arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani.
Bahasa Semit memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari bahasa lainnya, seperti; tulisannya yang bersifat limited yaitu hanya berupa huruf tanpa harakat, tanpa fathah, kasrah ataupun dhammah, seperti yang terdapat dalam bahasa Aria. Selain itu bahasa Arab juga memiliki jumlah huruf yang lebih banyak dibandingkan dengan bahasa Aria, selain memiliki bentuk derivasi (isytiqaq) yang lebih banyak. Namun demikian, antara bahasa-bahasa Semit tersebut memiliki persamaan dalam gaya bahasa, struktur kalimat, dan kosakata yang berhubungan dengan anggota badan dan kata ganti orang (dhamir).
Bahasa Arab itu sendiri terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu bahasa Arab Yaman yang ada di sebelah Selatan, dan bahasa Arab Hijaz yang terdapat di Utara. Bahasa Selatan (Yaman) meliputi bahasa Saba dan Himyar. Untuk mempermudah penyebutan mereka cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa Himyar dianggap lebih dulu keberadaannya dibanding bahasa Utara (Hijaz). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan yang bertuliskan bahasa Himyar. Bahasa Himyar memiliki huruf-huruf yang berbeda dengan bahasa Arab yang kita kenal sekarang. Selain itu ia juga memiliki pola tanwin, jama’mudzakar salim, adat ma’rifah, dan lain sebagainya yang berbeda dengan bahasa Arab Hijaz. Contoh lainnya adalah adanya perbedaan pada huruf-huruf kata, seperti, hamzah pada kata af’ala (أفعل) di sebagian bahasa Himyar menggunakan  ha (هـ). Keberadaan bahasa Himyar dan Saba ini diketahui melalui hasil penemuan para ilmuwan modern yang diperoleh dari hasil tulisan dan tempat tinggal mereka, sehingga diketahui struktur bahasa masing-masing.
Adapun bahasa Utara (Hijaz) merupakan bahasa kabilah Adnan. Bahasa ini lebih muda keberadaannya dibandingkan bahasa Himyar. Perlu diketahui bahwa  bahasa yang digunakan dalam syi’ir-syi’ir Arab Jahili yang sampai ke tangan kita menggunakan bahasa ini. Hal ini diketahui dari ungakapan para penyair yang menyatakan bahwa syi’ir ini berasal dari Rabi’ah atau Mudhar. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa kedua nama tersebut adalah cabang dari Kabilah Adnan. Atau juga yang berasal dari kabilah-kabilah Yaman yang rihlah ke Utara seperti kabilah Tha’i, Kindah dan Tanukh.
Bahasa Arab Adnani –sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa Semit- merupakan cabang bahasa Semit yang tingkat orisinilitas paling dekat di bandingkan cabang-cabang lainnya. Hal itu disebabkan oleh karena bangsa Arab adalah bangsa yang tidak banyak terkontaminasi oleh bangsa lainnya, tidak pernah dijajah dan diperintah bangsa lain seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Semit lainnya, seperti kaum Ibrani, Babilonia, dan Assyiria. Bangsa Arab dilindungi oleh gurun pasir dari serbuan musuh dan penjajahan bangsa asing, sehingga bahasa mereka pun tetap terjaga tanpa banyak dipengaruhi bahasa asing lainnya.
Bahasa Arab juga dianggap sebagai bahasa Semit yang sangat progresif, karena memiliki karakteristik yang fleksibel, derivatif, dan kaya akan makna. Mereka tidak hanya membuat satu kata untuk satu makna, namun banyak kata. Mereka ciptakan kata baru setiap mendapatkan makna baru. Kondisi seperti ini dilegitimasi dan dikembangkan dengan diturunkannya al-Qur’an al-Karim, yang kemudian eksistensinya mulai meluas ke seluruh penjuru dunia.













Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi SAW. Jil 1 (Jakarta, Gema Insani Press, 2001)
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad SAW, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2001 )
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 )
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahannya Juz 1 – 30 edisi baru ( Surabaya : UD Mekar Surabaya, 2000 )
Muhibbin, Hadits – Hadits Politik ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 )
Abdurrahman Asy Syarqowi, Muhammad Sang Pembebas, terj. Ilyas Siraj ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998 )




[1] . QS. Al-Ahqaf ayat 21

[2] . Ada dua makna dari al-ghaits, yaitu hujan dan rerumputan yang tumbuh setelah turun hujan
[3] . orang di luar Arab yang masuk ke dalam lingkungan Arab atau Arab keturunan.

Letak dan Kondisi Geografis BANGSA ARAB




MAKALAH
QIROAT AL QUR AN
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur an
Dosen Pengampu : Dewi Mustika, M.Kom.I





Disusun oleh :
Nama   : Roy Aditia W
 NPM  : 1503010010


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
IAIN METRO LAMPUNG
T.A. 1438 H/2017 M











BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Qira’at al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril. Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang.
 Qira’at memiliki  berabagi versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sehinggga permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat Islam.Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari tidak seperti ilmu fiqih, hadits, dan tafsir. Ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing imam qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca al-Qur’an.
Dalam kita membaca  al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.

B.     Rumusan Masalah
a. Pengertian Qira’at Al-Qur’an
b. Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at dan macam Qira’at Al-Qur’an
c. Kriteria Qira’at yang di terima dan di tolak
d. Urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam Istinbath Hukum

C.    Tujuan Penulisan
Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’at dalam al-qur’an dan mengetahui macam-macam serta pengaruh qira’at dalam huku islam.























  
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan[1]. Jadi, lafal qiro’at secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Secara istilah ada beberapa pendapat tentang definisi tersebut, yaitu[2]:
1.       Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab  yang dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah
2.      Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.

B. Sejarah Perkembangan Qiraat
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang  waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebutterletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

C.     Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at dan macam-macam Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
1.      Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
2.      Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al-Qur’an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan yang salah. Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah. Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam[3]. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.

 D.   MACAM–MACAM QIRA’AT
Berkenaan dengan Qira’at ini terdapat bermacam-macam Qira’at dan yang masyhur ada 7 macam, dikenal dengan sebutan qira’ah Sab’ah, suatu qira’at yang dibangsakan kepada tujuh imam Qira’at yaitu :
As-Suyuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’ah berdasarkan sanad kepada enam macam, diantaranya :
1.      Qira’ah Mutawatir, yaitu Qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa orang, seperti Qira’ah Sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir,[4] para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah:

a.       Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.
b.      Ashim bin Abi Nujud Al-asady (w. 127 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
c.       Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 158 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
d.      Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
e.       Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 130 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
f.       Abu Amr Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.
g.      Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.[5]

2.      Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya qiro’at dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh, sementara yang lainnya tidak. Qiro’at semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri. Menurut AlZarqani dan Subhi Al-Sholih kedua tingkatan Muttawatir dan Masyhur sah Bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikitpun dari padanya.
3.      Qiroat Ahad, yaitu qiro’at yang sanadnya sohih tetapi tulisannya tidak cocok dengan tulisan mushaf usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiro’at ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.
4.      Qiro’at Syadz, yaitu yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih. Contoh:ملك يوم الدين  (di baca malaka yauma)
5.      Qira’ah maudlu’ (palsu), Qira’ah ini tdak boleh untuk membaca Al-Qur’an.
6.      Qira’ah mudraj yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-quran .
Kedua qira’at diatas (maudlu dan mudraj)  tidak dapat dijadikan pegangan dalam baca’an Al-Qur’an.[6]
Jika ditinjau dari segi para pembacanya ( Qurro) Qira’ah dibagi atas :
a.      Qiro’ah Sab’ah : yang di sandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang telah disebutkan diatas. Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah:
Pertama : ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh).
Kedua : tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.

b.      Qir’ah Asyrah : qira’ah yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
1.      Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w. 130 H.) di Madinah
2.      Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary (w. 205 H.) di Basrah
3.      Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H.)
Menurut sebagian ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.
c.      Qira’ah Arba’a Asyrata : yaitu qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
1.      Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
2.      Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
3.      Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.) di Baghdad
4.      Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w. 388 H.) di Baghdad.[7]
·         Siapakah Yang Memilih dan Menyeleksi Para Imam Qiraat ?
Pemilihan imam qira'at yang tujuh itu dilakukan oleh ulama terkemudian pada abad ke-3 Hijriyah . Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad ke-2 umat Islam di Basrah memilih imam qira'at Imam Ibn Amr dan Ya'qub, di Kufah orang-orang memilih qiraat Ibn Amir, di Makkah mereka memilih qiraat Ibn Katsir, dan di Madinah mereka memilih qiraat Nafi'. Mereka itulah tujuh orang qari'. 
Tetapi pada permulaan abad ke-3, Abu Bakar bin Mujahid, guru qira'at penduduk Iraq, dan salah seorang yang menguasai qira'at, yang wafat pada 334 H. menetapkan nama al-Kisa'i dan membuang nama Ya'kub dari tujuh kelompok qari tersebut.

·         Letak Perbedaan Qira'ah Para Imam

Lajnah (dialek)
Tafkhim (penyahduanbacaan)
Tarqiq (pelembutan)
Imla (pengejaan)
Madd (panjangnada)
Qasr (pendeknada)
Tasydid (penebalannada)
Takhfif                                                                                             (penipisan nada)


E.     HIKMAH MEMPELAJARI QIRA’AT
Dengan bervariasinya Qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1.      Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2.      Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
3.      Untuk mempersatukan umat islam diatas dasr bahasa yang satu.
4.      Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
5.      Untuk menjelaskan suatu hukum dari beberapa hukum.
6.      Untuk menjelaskan sebagian lafad yang mubham (samar).
7.      Memperbesar pahala.[8]
 





Contoh Aplikatif Qiroah

Awalnya, bukan mustahil ada di antara kita membayangkan adanya perbedaan bacaan ini, baik pada qiroah sab’ah maupun qiroah asyroh, mencakup keseluruhan ayat. Ternyata tidaklah demikian. Tidak setiap kalimat atau ayat itu terdapat ikhtilaf (perbedaan bacaan) dan tidak setiap qori’ dari imam qiroat itu berbeda bacaan dengan yang lain.  Adakalanya dalam satu imam itu tidak terjadi perbedaan bacaan di kalangan perawinya, dan adakalanya perbedaan itu lebih dari satu.

Salah satu contoh adalah bacaan  ارْكَب مَّعَنَا  dalam surat Hud ayat 42. Dalam qiroat Asyroh; Abu Amr, Al Kisai dan Ya’qub membaca dengan idghom. Sementara Warosy, Ibnu Amir, Kholaf dan Abu Ja’far membaca dengan idzhar. Adapun Ibnu Katsir, Ashim, Qolun dan Khollad membaca dengan dua cara; idghom dan idzhar. Dan jika dibaca dengan idzhar maka dibaca dengan qolqolah. Pada contoh di atas Warosy yang merupakan perawi Imam Nafi membaca dengan idzhar, sementara perawi lainnya Qolun membaca dengan dua wajah, yakni idghom dan idzhar.

Berikut ini contoh aplikatif qiroah sab’ah dalam surat Al-Fatihah.

Pada ayat pertama; بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ     tidak satupun imam qiroat berbeda pendapat perihal bacaan ayat ini. Artinya tidak boleh merubah sedikitpun, baik dari aspek harakat maupun hurufnya. Memang, di beberapa kitab tafsir, dijelaskan macam-macam alternatif bacaan pada ayat ini. Diantaranya bolehnya memfathahkan atau mendhommahkan “nun” dan “mim pada kata “ar-rohman” dan “ar-rohim”.

Dalam kajian ilmu nahwu, variasi I’rob seperti ini masih bisa dibenarkan, dengan alasan semata analisis kalimat. Namun, dalam ilmu qiroat yang memiliki sanad mutawatir, ternyata tidak ada perbedaan bacaan “basmalah” tersebut dan tidak dibenarkan membaca di luar itu. Jadi, tujuh imam dan 14 perawinya membaca ayat tersebut secara sama. Demikian juga halnya pada ayat 2,  3 dan 5 pada surat al-Fatihah.

Pada ayat 4; مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ para imam tujuh berbeda pendapat mengenai kata “maliki”, ada yang memanjangkan satu alif dan ada juga yang mengqoshor satu harakat. Imam Ashim dan Al Kisa’i membacanya panjang, sementara kelima imam yang lain membaca pendek.
Kemudian, ayat 3 dan 4 apabila diwasholkan akan muncul dua wajh (variasi). Variasi pertama, dibaca seperti biasa, dan variasi kedua, dibaca dengan idghom kabir, yakni menjadikan pertemuan dua mim pada kalimat: الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ  مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ  == sama panjangnya dengan mad lazim kilmi mutsaqqol, artinya harakat kasroh pada mim “ar-rohim” melebur pada mim “maliki” disertai panjang 6 harakat disertai pemberatan bacaan. Idghom kabir semacam ini hanya dijumpai dalam riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari Imam Abu Amr.

Pada ayat 6: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ terdapat ikhtilaf pada kata “ash-shiroth”. Riwayat Qunbul pada bacaan Imam Nafi’ membaca “shod” dengan “siin” dan dua riwayat dari Imam Hamzah (Kholaf dan Kholad) membaca “shod” dengan isymam, yaitu menggabungkan bunyi “shod’ dengan “za’”. Jadi, ketika membaca ikhtilaf dari ayat ini, diperlukan pengulangan tiga kali; (1) bacaan biasa, (2) mengganti dengan “siin”, dan (3) membaca isymam.

Pada ayat 7: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ  terdapat dua kata yang mengandung ikhtilaf, yaitu “shiroth” dan “mim jama”. Untuk bacaan isymam shod pada ayat ini hanya milik Kholaf, sementara Kholad semata-mata mengisymamkan ayat 6 saja, meski keduanya merupakan perawi dari Imam Hamzah. Selain itu, imam nafi’ riwayat Qolun, mendhommahkan mim jama dan memanjangkan satu alif, istilah ini disebut dengan “shilah”. Ini adalah wajh kedua dari Qolun, sementara wajh pertamanya sama dengan imam-imam yang lain, yakni mensukunkan mim jama’, istilah ini disebut “sukun”. Disamping itu pada bacaan Imam Hamzah, huruf ha’ yang jatuh sebelum mim jama’ harus dibaca “dhommah”, sehingga menjadi “alaihum”.
Dengan demikian, untuk membaca ayat ini diperlukan lima kali pengulangan, yaitu: (1) bacaan biasa, (2), shad biasa dan shilah Qolun, (3) shod biasa dan ha’ dhommah dari Kholad, (4) mengganti shod dengan siin disertai shilah dari Qunbul, dan (5) isymam shod disertai ha’ dhommah dari Kholaf.
Sumber : cahayaqurani.wordpress.com dan sumber lainnya










BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Jadi dari uraian diatas menunjukkan bersarnya pengaruh qira’at dalam proses menetapkan hukum. Sebagian qira’at bisa berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at yang  lain atau penafsiran dan penjelasan pada maknanya.
Selain itu kita juga bisa mengetahui macam-amcam qira’at dan Imam-imamnya, dan pengetahuan tentang berbagai qira’at sangat perlu bagi seorang yang hendak mengistinbat hukum dari ayat-ayat Al-qur’an pada khususnya dan mentafsirkannya pada umumnya, serta bisa mengetahui hikmah dari adanya  qira’at.
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Aamiin.
















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. 2008. Ulumul Qur’an 1. Bandung: Pustaka Setia
Anwar, Rosihan. 2008.  Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Qur’an. Purwokerto: STAIN Press
Khalil al-Qattan, Manna. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa
Chalik, Abdul, Chaerudji. Ulumul Al-Qur’an. Diadit Media. Jakarta Pusat. 2007
Syadali Ahmad, Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an I. Pustaka Seyia. Bandung. 2000






[1] . Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an, hlm. 49.
[2] . Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i, Ulumul Quran 1, hlm. 224-225.
[3] . Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 250.
[4] . Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung : Pustka Setia, 2000. hal. 228
[5] . A. Chaerudji Abdul Chalik, Op.cit., Hal. 173-175
[6] . Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Op.cit., hal. 228-230
[7] . Ibid., Hal. 227
[8] . A. Chaerudji Abdul Chalik, Op. Cit., Hal. 179-183

- Copyright © PADEPOKAN SASTRA - aditia multimedia - Powered by parawali99 - Designed by aditia multimedia -