Posted by : Unknown
Tuesday, March 1, 2016
PENDAHULUAN
Dalam
makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama
di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di
telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana
hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan
epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di
perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di
sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?
Jadi
untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan
lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka
dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat
dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai
pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada
tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal
ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan
kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu
di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada
anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
PEMBAHASAN A.
Ontologi
Objek
telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi
banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira
cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis
lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme
di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam
tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam
Ontologi
Lorens
Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan
metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian
a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan.
Contoh : Sesuatu
yang bersifat lahirah itu fana
Badan itu
sesuatu yang lahiri
Jadi, badan itu
fana’
Sedangkan
pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata
silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi
geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus
Gigi geligi itu
gigi geligi pemakan tumbuhan
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Sementara
Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga
tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin
membahas dua point tersebut.
Sebagai
sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan
perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang
biasanya mengalami
percabangan.
Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga
cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan
(epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).
Pembahasan
tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles
merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic.
Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta
universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang “ada”.
Menurut
Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan.
Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama,
ontologi mempersoalkan tentang Tuhan. Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat
Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah
teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak
berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa:
·
Menurut bahasa,
ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Jadi,
ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
·
Menurut islitah,
ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.
2. ALIRAN-ALIRAN
ONTOLOGI
Dalam
mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan
aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan
beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang
ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”,
dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.
1. Apakah yang ada itu? (What is being?)
Dalam memberikan
jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Aliran Monoisme
Aliran
ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa
dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan
kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
·
Materialisme
Aliran
ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran
ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat
yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena
pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur
asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala
kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom
itulah yang merupakan asal kejadian alam.
Idealisme
Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak.
Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia
berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam
ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada
di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata
yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu.
Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
Aliran Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan
spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama
azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh
paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani)
dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la
Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641).
Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito
Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes,
ada
juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716 M).
1. Aliran Pluralisme
Aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu
tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James
(1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal
yang mengenal.
1. Aliran Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin
tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas.
Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu
ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita
ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain
aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia
terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi
diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
1. Aliran Agnostisisme
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa
Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not,
gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya
orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan
yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran
ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti,
Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak
Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda
dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa
satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat
memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M),
yang mengatakan bahwa
manusia
selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada),
melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda,
baik materi maupun ruhani.
1. Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah
yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal
ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka.
Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur
peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
1. Di manakah yang ada itu? (Where is being?)
Aliran
ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati,
universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat
sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual,
berubah-ubah, dan riil.
3. MANFAAT
MEMPELAJARI ONTOLOGI
Ontologi
yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di
antaranya sebagai berikut:
- Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
- Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
- Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.
Dari
penjelasan tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah
satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi
berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari sutu
benda/sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan
kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah). Misalnya, pada model
pemerintahan demokratis yang pada umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat,
ditemui tindakan sewenang-wenang dan tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan
yang seperti inilah yang dinamakan keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru
yang hakiki adalah model pemerintahan yang demokratis tersebut.
Dalam
ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme,
dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang
menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu
bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh). Dualisme adalah
aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat
materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit). Pluralisme
adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme
adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Dan
agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam
mengetahui hakikat benda.
Jadi,
dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan
paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita
masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
B. Epistemologi
Masalah
epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan
bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita
mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui
hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru
dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinankemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia
tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?
Metode-metode
untuk memperoleh pengetahuan a. Empirisme
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman inderawi yang
pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom- atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidaktidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan
terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak
Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri,
melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya,
pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi
Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para
penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya
sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan,
tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan
intuitif.
Salah
satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah,
paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman
yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan
bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh
penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya
diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidaktidaknya dalam
beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh
melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbiyang meliputi
sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa
yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu
tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih
masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa
ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi
dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”
Meminjamkan
perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang
menciptakan Goethe.”
Menghadapi
kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam
ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah
mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang
dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama,
maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam
sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam
ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama
tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.
Sejarah
kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,”
kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang
esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi
pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma- norma moral/professional?
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat di tarik kesimpulan :
- Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
- Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
- Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Navigation